Sabtu, 02 Juli 2011

SKEP PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN KELENJAR TYROID

Penyakit akibat gangguan kelenjar tiroid umum terjadi,namun untungnya dapat di diagnosa dengan cepat dan di obati dengan hasil yang sangat baik.
Penyakit tiroid timbul sebagai gangguan fungsi (hipofungsi atau hiperfungsi) atau sebagai lesi masa (perbesaran neoplasma atau nonneoplastik,yang di kenal sebagai goiter).

A. Tinjauan Gangguan Kelenjar Tiroid

I. Hipertiroidisme

Hipertiroidisme digambarkan sebagai suatu kondisi dimana terjadi kelebihan sekresi hormon tiroid. Tirotoksikosis mengacu pada manivestasi klinis yang terjadi bila jaringan tubuh di stimulasi oleh peningkatan hormon ini. Hipertiroidisme merupakan kelainan endokrin yang dapat di cegah. Seperti kebanyakan kondisi tiroid, kelainan ini merupakan kelainan yang sangat menonjol pada wanita. Kelainan ini menyerang wanita empat kali lebih banyak daripada para pria, terutama wanita muda yang berusia antara 20 dan 40 tahun.

PATOFISIOLOGI

Hipertiroidisme mungkin karena overfungsi keseluruhan kelenjar, atau kondisi yang kurang umum, mungkin disebabkan oleh fungsi tunggal atau multiple adenoma kanker tiroid. Juga pengobatan miksedema dengan hormon tiroid yang berlebihan dapat menyebabkan hipertiroidisme. Bentuk hipertiroidisme yang paling umum adalah penyakit Graves (goiter difus toksik)
yang mempuyai tiga tanda penting yaitu :
(1). Hipertiroidisme
(2) Perbesaan kelenjar tiroid (goiter)
(3) Eksoptalmos (protrusi mata abnormal)
Penyebab lain hipertiroidisme dapat mencakup goiter nodular toksik, adenoma toksik (jinak), karsinoma tiroid, tiroiditis subakut dan kronis, dan ingesti TH.

Dampak hipertiroidisme terhadap berbagai sistem tubuh adalah sebagai beikut :
1. Sistem integument seperti diaphoresis, rambut halus, jarang dan kulit lembab.
2. Sistem pencernaan seperti berat badan menurun, nafsu makan meningkat dan diare.
3. Sistem muskuloskeletal seperti kelemahan.
4. Sistem pernapasan seperti dispnea dan takipnea.
5. Sistem kardiovaskular seperti palpitasi, nyeri dada.
6. Metabolik seperti peningkatan laju metabolisme tubuh, intoleran terhadap panas dan suhu sub febris.
7. Sistem neurologi seperti mata kabur, mata lelah, insomnia.
8. Sistem reproduksi seperti amenore, volume menstruasi berkurang dan libido meningkat.
9. Psikologis/Emosi seperti gelisah, iritabilitas, gugup/nervous.

II. Hipotiroidisme

Penurunan sekresi hormon kelenjar tiroid sebagai akibat kegagalan mekanisme kompensasi kelenjar tiroid dalam memenuhi kebutuhan jaringan tubuh akan hormon-hormon tiroid.


PATOFISIOLOGI




Hipotiroidisme dapat terjadi akibat pengangkatan kelenjar tiroid dan pada pengobatan tirotoksikosis dengan RAI. Juga terjadi akibat infeksi kronis kelenjar tiroid dan atropi kelenjar tiroid yang bersifat idiopatik.
Prevalensi penderita hipotiroidisme meningkat pada usia 30 sampai 60 tahun, empat kali lipat angka kejadiannya pada wanita di bandingkan pria. Hipotiroidisme kongenital di jumpai satu orang pada empat ribu kelahiran hidup.
Jika produksi hormon tiroid tidak adekuat maka kelenjar tiroid akan berkompensasi untuk meningkatkan sekresinya sebagai respons terhadap rangsangan hormon TSH. Penurunan sekresi hormon kelenjar tiroid akan menurunkan laju metabolisme basal yang akan mempengaruhi semua sistem tubuh. Proses metabolik yang di pengaruhi antara lain :
a. Penurunan produksi asam lambung (aclorhidia)
b. Penurunan motilitas usus
c. Penurunan detak jantung
d. Gangguan fungsi neurologik
e. Penurunan produksi panas

Penurunan hormon tiroid juga akan mengganggu metabolisme lemak dimana akan terjadi peningkatan kadar kolesterol dan trigliserida sehingga klien berpotensi mengalami atherosklerosis Akumulasi proteoglicans hidrophilik di rongga intertisial seperti rongga pleura, cardiak dan abdominal sebagai tanda dari mixedema. Pembentukan eritrosit yang tidak optimal sebagai dampak dari menurunnya hormon tiroid memungkinkan klien mengalami anemi.
Dampak hipotiroidisme terhadap berbagai sistem tubuh adalah sebagai berikut :
1. Sistem integument seperti kulit dingin, pucat, kering, bersisik
2. Sistem pulmonari seperti hipoventilasi, pleural efusi, dispnea
3. Sistem kardiovaskular seperti brakikardi¸disritmia,pembesaran jantung.
4. Metabolik seperti penurunan meabolisme basal, penurunan suhu tubuh.
5. Sistem muskuloskeletal seperti nyeri otot, kontraksi dan relaksasi otot yang melambat.
6. Sistem neurologi seperti fungsi intelektual yang lambat, berbicara lambat dan terbata-bata.

III. Hipertrofi Kelenjar Tiroid

Kelenjar tiroid mengalami pembesaran akibat pertambahan ukuran sel/jaringan tanpa di sertai peningkatan atau penurunan sekresi hormon-hormon kelenjar tiroid. Disebut juga sebagai goiter nontosik atau simple goiter atau struma Endemik. Pada kondisi ini dimana pembesaran kelenjar tidak disertai penurunan atau peningkatan sekresi hormon-hormonnya maka dampak yang di timbulkannya hanya bersifat lokal yaitu sejauh mana pembesaran tersebut mempengaruhi organ di sekitarnya seperti pengaruhnya pada trakhea dan esophagus.

PATOFISIOLOGI

Berbagai faktor di identifikasi sebagai penyebab terjadinya hipertropi kelenjar tiroid termasuk di dalamnya defisiensi jodium, goitrogenik glikosida agent (zat atau bahan ini dapat menekan sekresi hormon tiroid) seperti ubi kayu, jagung lobak,
kangkung, kubis bila di konsumsi secara berlebihan, obat-obatan anti tiroid, anomali, peradangan dan tumor/neoplasma.
Sedangkan secara fisiologis, menurut Benhard (1991) kelenjar tiroid dapat membesar sebagai akibat peningkatan aktifitas kelenjar tiroid sebagai upaya mengimbangi kebutuhan tubuh yang meningkat pada masa pertumbuhan dan masa kehamilan
Berdasarkan kejadiannya atau penyebarannya ada yang di sebut Struma Endemis dan Sporadis. Secara sporadis dimana kasus-kasus struma ini di jumpai menyebar diberbagai tempat atau daerah. Bila di hubungkan dengan penyebab maka struma sporadis banyak disebabkan oleh faktor goitrogenik, anomali dan penggunaan obat-obatan anti tiroid, peradangan dan neoplasma. Secara endemis, dimana kasus-kasus struma ini dijumpai pada sekelompok orang di suatu daerah tertentu, dihubungkan dengan penyebab defisiensi jodium.

B. Penatalaksanaan Klien dengan Hipertiroidisme

I. Pengkajian

1. Pengumpulan biodata seperti umur, jenis kelamin dan tempat tinggal.
2. Riwayat penyakit dalam keluarga.
3. Kebiasaan hidup sehari-hari mencakup aktifitas dan mobilitas, pola makan, penggunaan obat-obat tertentu, istirahat dan tidur.
4. Keluhan klien seperti berat badan turun meskipun napsu makan meningkat, diare, tidak tahan terhadap panas, berkeringat banyak
5. Pemeriksaan fisik :
a. Amati penampilan umum klien, amati wajah klien khususnya kelainan pada mata seperti :
• Opthalmopati yang di tandai :
- eksoftalmus : bulbus okuli menonjol keluar
- tanda Stellwag s : mata arang berkedip
- tanda Von Graefes : jika klien melihat kebawah maka palpebra superior sukar atau sama sekali tidak dapat mengikuti bola mata
- tanda mobieve : sukar mengadakan atau menahan konvergensi
- tanda joffroy : tidak dapat mengerutkan dahi jika melihat ke atas
- tanda rosenbagh : tremor palpebra jika mata menutup
• Edema palpebra dikarenakan akumulasi cairan di periorbita dan penumpukan lemak di retro orbita
• Juga akan di jumpai penurunan visus akibat penekanan saraf optikus dan adanya tanda-tanda radang atau infeksi pada konjunktiva dan atau kornea
• Fotopobia dan pengeluaran air mata yang berlebihan merupakan tanda yang lazim
b. Amati manifestasi klinis hipertiroidisme pada berbagai sistem tubuh seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya
c. Palpasi kelenjar tiroid, kaji adanya pembesaran, bagaimana konsistensinya, apakah dapat digerakkan serta apakah nodul soliter atau multipel
d. Auskultasi adanya “bruit”
6. Pengkajian psikososial
7. Pemeriksaan diagnostik

II. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang utama dijumpai pada klien dengan hipertiroidisme adalah :
1. Penurunan curah jantung yang berhubungan dengan penurunan waktu pengisian diastolik sebagai akibat peningkatan frekwensi jantung
2. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan efek hiperkatabolisme
3. Perubahan persepsi sensoris (penglihatan) yang berhubungan dengan gangguan perpindahan impuls sensoris akibat ofthalmopati

Diagnosa keperawatan tambahan antara lain :
1. Diare yang berhubungan dengan peningkatan aktivitas metabolik
2. Koping individu tak efektif yang berhubungan dengan emosi yang labil
3. Intoleransi terhadap aktifitas yang berhubungan dengan kelemahan akibat metabolisme yang meningkat
4. Gangguan pola tidur sehubungan dengan suhu tubuh yang meningkat akibat peningkatan metablisme
5. Gangguan proses berpikir yang berhubungan dengan emosi yang labil dan perhatian yang menyempit

III. Rencana Tindakan Keperawatan

Diagnosa Keperawatan :
Penurunan curah jantung yang berhubungan dengan menurunnya waktu pengisian diastolik sebagai akibat dari peningkatan frekuensi jantung

Tujuan :
Fungsi kardiovaskular kembali normal

Intervensi Keperawatan :
1. Observasi setiap 4 jam nadi apikal, tekanan darah dan suhu tubuh
2. Anjurkan kepada klien agar segera melaporkan pada perawat bila mengalami nyeri dada, palpitasi, dispnea dan vertigo.
3. Upayakan agar klien dapat istirahat
4. Bantu klien memenuhi kebutuhan sehari-hari sesuai kebutuhan
5. Batasi aktivitas yang melelahkan klien
6. Kolaborasi pemberian obat-obat antitiroid.
7. Kolaborasi tindakan pembedahan bila dengan tindakan konservatif

Diagnosa Keperawatan :
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan efek hiperkatabolisme

Tujuan :
Setelah perawatan di rumah sakit, klien akan mempertahankan status nutrisi yang optimal
Intervensi Keperawatan :
1. Berikan makanan tinggi kalori tinggi protein
2. Beri makanan tambahan diantara waktu makan
3. Timbang berat badan secara teratur setiap 2 hari sekali
4. Bila perlu, konsultasikan klien dengan ahli gizi

Diagnosa Keperawatan :
Gangguan persepsi sensoris (penglihatan) yang berhubungan dengan gangguan transmisi impuls sensorik sebagai akibat oftalmopati

Tujuan :
Klien tidak mengalami penurunan visus yang lebih buruk dan tidak terjadi trauma / cidera pada mata

Intervensi Keperawatan :
1. Anjurkan pada klien bila tidur dengan posisi elevasi kepala
2. Basahi mata dengan borwater sterill
3. Jika ada photopobia, anjurkan klien menggunakan kacamata rayben
4. Jika klien tidak dapat menutup mata rapat pada saat tidur, gunakan plester non alergi
5. Berikan obat-obat steroid sesuai program

C. Penatalaksanaan Klien dengan Hipotiroidisme

I. Pengkajian

Dampak penurunan kadar hormon dalam tubuh sangat bervariasi, oleh karena itu lakukanlah pengkajian terhadap hal-hal penting yang dapat menggali sebanyak mungkin informasi antara lain :



1. Riwayat kesehatan klien dan keluarga
2. Kebiasaan hidup sehari-hari seperti :
a. Pola makan
b. Pola tidur (klien menghabiskan banyak waktu untuk tidura)
c. Pola aktivitas
3. Tempat tinggal klien sekarang dan pada waktu balita
4. Keluhan utama klien, mencakup gangguan pada berbagai sistem tubuh :
a. Sistem pulmonari
b. Sistem pencernaan
c. Sistem kardiovaskular
d. Sistem muskuloskeletal
e. Sistem neurologik
f. Sistem reproduk
g. Metabolik
h. Emosi/psikologis
5. Pemeriksaan fisik mencakup :
a. Penampilan secara umum
b. Nadi lambat dan suhu tubuh menurun
c. Perbesaran jantung
d. Disritmia dan hipotensi
e. Parastesia dan reflek tendon menurun
6. Pengkajian psikososial
7. Pemeriksaan penunjang

II. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan utama yang dapat dijumpai pada klien dengan hipotiroidisme antara lain :

1. Penurunan curah jantung yang berhubungan dengan penurunan volume sekuncup sebagai akibat dari bradikardi : arteriosklerosis arteri koronaria
2. Pola nafas yang tidak efektif yang berhubungan dengan penurunan tenaga / kelelahan : ekspansi paru yang menurun, obesitas dan inaktivitas
3. Gangguan proses pikir yang berhubungan dengan edema jaringan serebral dan retensi air

Diagnosa keperawatan tambahan antara lain :
1. Perubahan nutrisi
2. Hipotermi
3. Konstipasi
4. Gangguan integritas kulit
5. Disfungsi seksual

II. Rencana Tindakan Keperawatan

Diagnosa Keperawatan :
Penurunan curah jantung yang berhubungan dengan penurunan volume sekuncup akibat bradikardi dan arteriosklerosis arteri koronaria

Tujuan :
Fungsi kardiovaskular tetap optimal yang ditandai dengan tekanan darah irama jantung dalam batas normal

Intervensi Keperawatan :
1. Pantau tekanan darah, denyut dan irama jantung setiap 2 jam untuk mengidentifikasi kemungkinan terjadinya gangguan hemodinamik jantung seperti hipotensi, penurunan haluaran urine dan perubahan status mental

2. Anjurkan klien untuk memberitahu perawat segera bila klien mengalami nyeri dada
3. Kolaborasi pemberian obat-obatan untuk mengurangi gejala-gejala

Diagnosa Keperawatan :
Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelelahan, obesitas dan inaktivitas

Tujuan :
Agar dapat mempertahankan pola napas yang efektif

Intervensi Keperawatan :
1. Amati dan catat irama serta kedalaman pernafasan
2. Auskultasi bunyi pernapasan dan catat dengan seksama
3. Bila klien mengalami kesulitan pernapasan yang berat, kolaborasikan dengan dokter
4. Hindarkan penggunaan obat sedatif karena dapat menekan pusat pernapasan
5. Bantu klien beraktivitas
6. Penuhi kebutuhan sehari-hari klien sesuai kebutuhan

Diagnosa Keperawatan :
Gangguan proses berpikir yang berhubungan dengan edema jaringan otak dan retensi air

Tujuan :
Proses berpikir klien kembali ketingkat yang optimal

Intervensi Keperawatan :
1. Observasi dan catat tanda gangguan proses berpikir yang berat seperti :
a. Letargi
b. Gangguan memori
c. Tidak ada perhatian
d. Kesulitan berkomunikasi
e. Mengantuk
2. Orientasikan klien kembali dengan lingkungannya baik terhadap orang, tempat dan waktu
3. Beri dorongan pada keluarga agar dapat menerima perubahan prilaku klien dan mengadaptasinya

Penyuluhan Kesehatan :
Penyuluhan kesehatan sangat penting bagi klien dan keluarga. Berikanlah kepada mereka hal-hal yang harus di perhatikan dalam penggunaan obat di rumah dan perawatan klien pada umumnya. Berikan penjelasan tentang :
1. Cara penggunaan obat, dosis dan waktunya. Tidak meminum obat bersama dengan obat yang lain
2. Tanda dan gejala bila kelebihan obat atau sebaliknya
3. Menggunakan selimut tambahan pada waktu tidur, penggunaan baju hangat dan pakaian tebal bila suhu udara dingin
4. Meningkatkan pemasukan makanan yang bergizi, cairan yang cukup dan makanan tinggi serat
5. Memeriksakan diri secara teratur ke tempat pelayanan kesehatan terdekat

D. Penatalaksanaan Klien dengan Hipertrofi Kelenjar Tiroid

I. Pengkajian

1. Kaji riwayat penyakit :
- sudah sejak kapan keluhan dirasakan klien
- apakah ada anggota keluarga yang berpenyakit sama
2. Tempat tinggal sekarang dan pada masa balita
3. Usia dan jenis kelamin
4. Kebiasaan makan
5. Penggunaan obat-obatan
- Kaji jenis obat-obat yang sedang digunakan dalam 3 bulan terakhir
- Sudah berapa lama digunakan
- Tujuan pemberian obat
6. Keluhan klien :
- Sesak napas, apakah bertambah sesak bila beraktivitas
- Sulit menelan
- Leher bertambah besar
- Suara serak/parau
- Merasa malu dengan bentuk leher yang besar dan tidak simetris
7. Pemeriksaan fisik :
- Palpasi kelenjar tiroid, nodul tunggal atau ganda, konsistensi dan simetris tidaknya, apakah terasa nyeri pada saat di palpasi
- Inspeksi bentuk leher, simetris tidaknya
- Auskultasi bruit pada arteri tyroidea
- Nilai kualitas suara
- Palpasi apakah terjadi deviasi trakhea
8. Pemeriksaan diagnostik
- Pemeriksaan kadar T3 dan T4 serum
- Pemeriksaan RAI
- Test TSH serum
9. Lakukan pengkajian lengkap dampak perubahan patologis diatas terhadap kemungkinan adanya gangguan pemenuhan oksigen, nutrisi, cairan dan elektrolit serta gangguan rasa aman dan perubahan konsep diri seperti :
- Status pernapasan
- Warna kulit
- Suhu kulit (daerah akral)
- Keadaan / kesadaran umum
- Berat badan dan tinggi badan
- Kadar hemoglobin
- Kelembaban kulit dan teksturnya
- Porsi makan yang dihabiskan
- Turgor
- Jumlah dan jenis cairan per oral yang dikonsumsi
- Kondisi mukosa mulut
- Kualitas suara
- Bagaimana ekspresi wajah, cara berkomunikasi dan gaya interaksi klien dengan orang di sekitarnya
- Bagaimana klien memandang dirinya sebagai seorang pribadi

II. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan utama yang dijumpai pada klien dengan goiter nontoksik antara lain :
1. Pola napas yang tidak efektif yang berhubungan dengan penekanan kelenjar tiroid terhadap trakhea
2. Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan asupan yang kurang akibat disfagia
3. Perubahan citra diri yang berhubungan dengan perubahan bentuk leher
4. Gangguan rasa aman : ansietas yang berhubungan dengan kurang informasi tentang penyakit dan pengobatannya, atau persepsi yang salah tentang penyakit yang diderita

III. Rencana Tindakan Keperawatan

Diagnosa Keperawatan :
Pola napas yang tidak efektif yang berhubungan dengan penekanan kelenjar tiroid terhadap trakhea

Tujuan :
Selama dalam perawatan, pola napas klien efektif kembali (sambil menunggu tindakan pembedahan bila diperlukan) dengan kriteria sebagai berikut :
- Frekuensi pernapasan 16-20 x/menit dan pola teratur
- Akral hangat
- Kulit tidak pucat atau cianosis
- Keadaan klien tenang/tidak gelisah

Intervensi Keperawatan :
1. Batasi aktivitas, hindarkan aktivitas yang melelahkan
2. Posisi tidur setengah duduk dengan kepala ekstensi bila diperlukan
3. Kolaborasi pemberian obat-obatan
4. Bila dengan konservatif gejala tidak hilang, kolaborasi tindakan operatif
5. Bantu aktivitas klien di tempat tidur
6. Observasi keadaan klien secara teratur
7. Hindarkan klien dari kondisi-kondisi yang menuntut penggunaan oksigen lebih banyak seperti ketegangan, lingkungan yang panas atau yang terlalu dingin

Diagnosa Keperawatan :
Perubahan nutrisi : kurang dari kebutuhan yang berhubungan dengan asupan nutrien kurang akibat disfagia

Tujuan :
Nutrisi klien dapat terpenuhi kembali dalam waktu 1-2 minggu dengan kriteria sebagai berikut :
- Berat badan bertambah
- Hemoglobin : 12-14 gr% (wanita) dan 14-16 gr% (pria)
- Tekstur kulit baik

Intervensi Keperawatan :
1. Berikan makanan lunak atau cair sesuai kondisi klien
2. Porsi makanan kecil tetapi sering
3. Beri makanan tambahan diantara jam makan
4. Timbang berat badan dua hari sekali
5. Kolaborasi pemberian ruborantia bila diperlukan
6. Ciptakan lingkungan yang menyenangkan menjelang jam makan

Diagnosa Keperawatan :
Perubahan citra diri yang berhubungan dengan perubahan bentuk leher

Tujuan :
Setelah menjalani perawatan, klien memiliki gambaran diri yang positif kembali dengan kriteria :
- Klien menyenangi kembali tubuhnya
- Klien dapat melakukan upaya-upaya untuk mengurangi dampak negatif pembesaran pada leher
- Klien dapat melakukan aktivitas fisik dan sosial sehari-hari

Intervensi Keperawatan :
1. Dorong klien mengungkapkan perasaan dan pikirannya tentang bentuk leher yang berubah
2. Diskusikan upaya-upaya yang dapat dilakukan klien untuk mengurangi perasaan malu seperti menggunakan baju yang berkerah tertutup
3. Beri pujian bila klien dapat melakukan upaya-upaya positif untuk meningkatkan penampilan diri
4. Jelaskan penyebab terjadinya perubahan bentuk leher dan jalan keluar yang dapat dilakukan seperti tindakan operasi
5. Jelaskan pula setiap risiko yang perlu di antisipasi dari setiap tindakan yang dapat dilakukan
6. Ikut sertakan klien dalam kegiatan keperawatan sesuai kondisi klien
7. Fasilitasi klien untuk bertemu teman-teman sebayanya

Diagnosa Keperawatan :
Ansietas yang berhubungan dengan kurang pengetahuan klien tentang penyakit dan pengobatannya atau persepsi yang salah tentang penyakit yang diderita

Tujuan :
Setelah diberikan pendidikan kesehatan sebanyak 2 kali, ansietas klien akan hilang dengan kriteria sebagai berikut :
- Ekspresi wajah tampak rileks
- Klien dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan baik
- Klien mengetahui penyakit dan upaya pengobatan

Intervensi Keperawatan :
1. Kaji pengetahuan klien tentang penyakit dan pengobatannya
2. Identifikasi harapan-harapan klien terhadap pelayanan yang diberikan
3. Buat rancangan pembelajaran yang mencakup :
- Jenis penyakit dan penyebabnya
- Upaya penanggulangan seperti pemberian obat-obatan, tindakan operasi bila ada indikasi
- Prognosa dan prevalensi penyakit
- Kondisi-kondisi yang dapat menyebabkan keadaan yang lebih buruk dan kondisi yang mempercepat penyembuhan
4. Laksanakan pembelajaran bersama dengan anggota keluarga, perhatikan kondisi klien dan lingkungannya.

SOP PERAWATAN LUKA GANGREN & CARA PEMBERIAN INSULIN

SOP PERAWATAN LUKA GANGREN

Luka kotor adalah luka yang terinfeksi. Gangren adalah luka yang terinfeksi disertai dengan adanya jaringan yang mati. Oleh karena itu perlu diganti balutan secara khusus gunanya untuk :
- Mencegah meluasnya infeksi
- Memberi rasa nyaman pada klien
Operasional dilakukan pada :
- Luka terbuka / kotor
- Luka gangren
PERSIAPAN
Persiapan Alat
a. Alat Seteril ( bak instrument bersisi ) :
- 2 Pinset anatomi
- 2 pinset chirurgis
- 1 klem arteri
- 1 gunting jaringan
- 1 klem kocher
- Kassa dan deppers seteril
a. Alat Tidak Seteril
- Bethadine
- Larutan NaCl 0,9 %
- Handscone
- Kom kecil
- Verban dan plester
- Perlak
- Tempat cuci tangan
- Bengkok berisi larutan desinfektan ( Lysol )
- Sampiran jika perlu
- Masker jika perlu
- Schort bila perlu
- Obat-obatan sesuai program medis
Persiapan Pasien
Pasien diberi penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan dan klien disiapkan pada posisi yang nyaman
PELAKSANAAN
1. Seperangkat instrument didekatkan pada pasien
2. Pasien diberitahu tentang tindakan yang akan dilakukan
3. Perawat cuci tangan dan pasang sampiran
4. Memasang perlak dibaeah daerah yang akan diganti balutanya
5. Memakai hansscone
6. Membuka balutan dan membuang balutan lama ke tempat sampah yang telah disediakan
7. Membersihkan luka demaksud dengan kassa seteril yang telah di basahi dengan NaCl dan bethadine kemudian membuang bagian-bagian yang kotor atau jaringan nekrotik
8. Membersihkan dengan arah kedalam dan keluar
9. Mengompres luka dengan bethadine atau dengan obat yang ditentukan oleh dokter, sampai tertutup semuanya
10. menutup luka dengan kassa seteril kering
11. Membalut luka dengan verban
12. Meletakan alat-alat yang telah selesai dipergunakan kedalam bengkok yang berisi dengan laritan desinfektan
13. Alat –alat dibereskan dan dikembalikan ketempatnya semula
1. Perawat cuci tangan
EVALUASI
Mencatat hasil tindakan perawatan luka darin pada dokumen keperawatan :
Perhatian :
- Perhatikan teknik asepthik dan antiseptik
- Jaga privasi klien
- Perhatikan jika ada pus / jaringan nekroti



CARA PEMBERIAN INSULIN

Insulin kerja singkat :
• IV, IM, SC
• Infus ( AA / Glukosa / elektrolit )
• Jangan bersama darah ( mengandung enzim merusak insulin )
Insulin kerja menengah / panjang :
• Jangan IV karena bahaya emboli.
Pemberian insulin secara sliding scale dimaksudkan agar pemberiannya lebih efisien dan tepat karena didasarkan pada kadar gula darah pasien pada waktu itu. Gula darah diperiksa setiap 6 jam sekali.
Dosis pemberian insulin tergantung pada kadar gula darah, yaitu :
Gula darah
< 60 mg % = 0 unit < 200 mg % = 5 – 8 unit 200 – 250 mg% = 10 – 12 unit 250 - 300 mg% = 15 – 16 unit 300 – 350 mg% = 20 unit > 350 mg% = 20 – 24 unit

Teknik Penyuntikan Insulin
Sebelum menggunakan insulin, diabetesein ataupun keluarga tentunya perlu untuk diberikan pengetahuan dan wawasan mengenai cara dan prosedur menyuntikkan insulin eksogen;
1 Sebelum menyuntikkan insulin, kedua tangan dan daerah yang akan disuntik haruslah bersih. Bersihkanlah dengan cairan alkohol 70% dengan menggunakan kapas bersih dan steril.
2 Tutup vial insulin harus diusap dengan cairan alkohol 70%.
3 Untuk semua insulin, kecuali insulin kerja cepat, harus digulung-gulung secara perlahan-lahan denga kedua telapak tangan. Hal ini bertujuan untuk melarutkan kembali suspensi. (Jangan dikocok).
4 Ambillah udara sejumlah insulin yang akan diberikan. Lalu suntikkanlah ke dalam vial untuk mencegah terjadi ruang vakum dalam vial. Hal ini terutama diperlukan bila akan dipakai campuran insulin.
5 Bila mencampur insulin kerja cepat dengan kerja cepat harus diambil terlebih dahulu.
6 Setelah insulin masuk ke dalam alat suntik, periksa apakah mengandung gelembung atau tidak. Satu atau dua ketukan pada alat suntik dalam posisi tegak akan dapat mengurangi gelembung tersebut. Gelembung yang ada sebenarnya tidaklah terlalu membahayakan, namun dapat mengurangi dosis insulin.
7 Penyuntikan dilakukan pada jaringan bawah kulit (subkutan). Pada umumnya suntikan dengan sudut 90 derajad. Pada pasien kurus dan anak-anak, kulit dijepit dan insulin disuntikkan dengan sudut 45 derajat agar tidak terjadi penyuntikkan otot (intra muskular).
Perlu diperhatikan daerah mana saja yang dapat dijadikan tempat menyuntikkan insulin. Bila kadar glukosa darah tinggi, sebaiknya disuntikkan di daerah perut dimana penyerapan akan lebih cepat. Namun bila kondisi kadar glukosa pada darah rendah, hindarilah penyuntikkan pada daerah perut.
Secara urutan, area proses penyerapan paling cepat adalah dari perut, lengan atas dan paha. Insulin akan lebih cepat diserap apabila daerah suntikkan digerak-gerakkan. Penyuntikkan insulin pada satu daerah yang sama dapat mengurangi variasi penyerapan.
Penyuntikkan insulin selalu di daerah yang sama dapat merangsang terjadinya perlemakan dan menyebabkan gangguan penyerapan insulin. Daerah suntikkan sebaiknya berjarak 1inchi (+ 2,5cm) dari daerah sebelumnya.
Lakukanlah rotasi di dalam satu daerah selama satu minggu, lalu baru pindah ke daerah yang lain.




Bila proses penyuntikkan terasa sakit atau mengalami perdarahan setelah proses penyuntikkan, maka daerah tersebut sebaiknya ditekan selama 5-8 detik. Untuk mengurangi rasa sakit pada waktu penyuntikkan dapat ditempuh usaha-usaha sebagai berikut:
1. Menyuntik dengan suhu kamar
2. Pastikan bahwa dalam alat suntik tidak terdapat gelembung udara
3. Tunggulah sampai alkohol kering sebelum menyuntik
4. Usahakanlah agar otot daerah yang akan disuntik tidak tegang
5. Tusuklah kulit dengan cepat
6. Jangan merubah arah suntikkan selama penyuntikkan atau mencabut suntikan
7. Jangan menggunakan jarum yang sudah tampak tumpul

Jenis alat suntik (syringe) insulin
1. Siring (syringe) dan jarumSiring dari bahan kaca sulit dibersihkan, mudah pecah dan sering menjadi kurang akurat.Siring yang terbaik adalah siring yang terbuat dari plastik sekali pakai. Walaupun banyak pasien diabetes yang menggunakan lebih dari sekali pakai, sangat disarankan hanya dipakai sekali saja setelah itu dibuang.
2. Pena insulin (Insulin Pen)Siring biasanya tertalu merepotkan dan kebanyakan pasien diabetes lebih suka menggunakan pena insulin. Alat ini praktis, mudah dan menyenangkan karena nyaris tidak menimbulkan nyeri. Alat ini menggabungkan semua fungsi didalam satu alat tunggal.
3. Pompa insulin (Insulin Pump)Pompa insulin (insulin pump) diciptakan untuk mneyediakan insulin secara berkesinambungan. Pompa harus disambungkan kepada pasien diabetes (melalui suatu tabung dan jarum). Gula (Glucose) darah terkontrol dengan sangat baik dan sesuai dengan kebutuhan.

Penyimpanan Insulin Eksogen
Bila belum dipakai :
Sebaiknya disimpan 2-8 derajat celcius (jangan sampai beku), di dalam gelap (seperti di lemari pendingin, namun hindari freezer.
Bila sedang dipakai :
Suhu ruang 25-30 derajat celcius cukup untuk menyimpan selama beberapa minggu, tetapi janganlah terkena sinar matahari.
Sinar matahari secara langsung dapat mempengaruhi percepatan kehilangan aktifitas biologik sampai 100 kai dari biasanya.
Suntikkan dalam bentuk pena dan insulin dalam suntikkan tidak perlu disimpan di lemari pendingin diantara 2 waktu pemberian suntikkan.
Bila tidak tersedia lemari pendingin, simpanlah insulin eksogen di tempat yang teduh dan gelap.

Efek samping penggunaan insulin
• Hipoglikemia
• Lipoatrofi
• Lipohipertrofi
• Alergi sistemik atau lokal
• Resistensi insulin
• Edema insulin
• Sepsis
Hipoglikemia merupakan komplikasi yang paling berbahaya dan dapat terjadi bila terdapat ketidaksesuaian antara diet, kegiatan jasmani dan jumlah insulin. Pada 25-75% pasien yang diberikan insulin konvensional dapat terjadi Lipoatrofi yaitu terjadi lekukan di bawah kulit tempat suntikan akibat atrofi jaringan lemak. Hal ini diduga disebabkan oleh reaksi imun dan lebih sering terjadi pada wanita muda terutama terjadi di negara yang memakai insulin tidak begitu murni. Lipohipertrofi yaitu pengumpulan jaringan lemak subkutan di tempat suntikan akibat lipogenik insulin. Lebih banyak ditemukan di negara yang memakai insulin murni. Regresi terjadi bila insulin tidak lagi disuntikkan di tempat tersebut.
Reaksi alergi lokal terjadi 10x lebih sering daripada reaksi sistemik terutama pada penggunaan sediaan yang kurang murni. Reaksi lokal berupa eritem dan indurasi di tempat suntikan yang terjadi dalam beberpa menit atau jam dan berlagsung.
Selama beberapa hari. Reaksi ini biasanya terjadi beberapa minggu sesudah pengobatan insulin dimulai. Inflamasi lokal atau infeksi mudah terjadi bila pembersihan kulit kurang baik, penggunaan antiseptiK yang menimbulkan sensitisasi atau terjadinya suntikan intrakutan, reaksi ini akan hilang secara spontan. Reaksi umum dapat berupa urtikaria, erupsi kulit, angioudem, gangguan gastrointestinal, gangguan pernapasan dan yang sangat jarang ialah hipotensi dan shock yang diakhiri kematian.

Interaksi
Beberapa hormon melawan efek hipoglikemia insulin misalnya hormon pertumbuhan, kortikosteroid, glukokortikoid, tiroid, estrogen, progestin, dan glukagon. Adrenalin menghambat sekresi insulin dan merangsang glikogenolisis. Peningkatan hormon-hormon ini perlu diperhitungkan dalam pengobatan insulin.
Guanetidin menurunkan gula darah dan dosis insulin perlu disesuaikan bila obat ini ditambahkan / dihilangkan dalam pengobatan. Beberapa antibiotik (misalnya kloramfenikol, tetrasiklin), salisilat dan fenilbutason meningkatkan kadar insulin dalam plasma dan mungkin memperlihatkan efek hipoglikemik.
Hipoglikemia cenderung terjadi pada penderita yang mendapat penghambat adrenoseptor ß, obat ini juga mengaburkan takikardi akibat hipoglikemia. Potensiasi efek hipoglikemik insulin terjadi dengan penghambat MAO, steroid anabolik dan fenfluramin.

Selasa, 31 Mei 2011

Kmb III _LAPORAN PENDAHULUAN DIABETES MELITUS_



Laporan Pendahuluan Diabetes Melitus
 
A.      Pengertian
              Diabetes Melllitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Arjatmo, 2002).
              Diabetes Mellitus ( DM ) adalah penyakit metabolik yang kebanyakan herediter, dengan  tanda – tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan atau tidak adanya gejala klinik akut ataupun kronik, sebagai akibat dari kuranganya  insulin efektif di dalam tubuh, gangguan primer terletak pada metabolisme karbohidrat yang biasanya disertai juga gangguan metabolisme lemak dan protein. ( Askandar, 2000 ).

B.  Anatomi Fisiologi
                Pankreas merupakan sekumpulan kelenjar yang panjangnya kira – kira 15 cm, lebar  5 cm, mulai dari duodenum sampai ke limpa  dan beratnya rata – rata 60 – 90 gram. Terbentang pada vertebrata lumbalis 1 dan 2 di belakang lambung.
Pankreas merupakan kelenjar endokrin terbesar yang terdapat di dalam tubuh baik hewan maupun manusia. Bagian depan ( kepala ) kelenjar pankreas terletak pada lekukan yang dibentuk oleh duodenum dan bagian pilorus dari lambung. Bagian badan yang merupakan bagian utama dari organ ini merentang ke arah limpa dengan bagian ekornya menyentuh atau terletak pada alat ini. Dari segi perkembangan  embriologis, kelenjar pankreas terbentuk dari epitel yang berasal dari lapisan epitel yang membentuk usus.
Pankreas terdiri dari dua jaringan utama, yaitu :
1.      Asini sekresi getah pencernaan ke dalam duodenum.
2.      Pulau Langerhans yang tidak tidak mengeluarkan sekretnya keluar, tetapi menyekresi insulin dan glukagon langsung ke darah.
Pulau – pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pamkreas tersebar di seluruh pankreas dengan berat hanya 1 – 3 % dari berat total pankreas. Pulau langerhans berbentuk ovoid dengan besar masing-masing pulau berbeda. Besar pulau langerhans yang terkecil adalah 50 m, sedangkan yang terbesar 300 m, terbanyak adalah yang besarnya 100 – 225 m. Jumlah semua pulau langerhans di pankreas diperkirakan antara 1 – 2 juta.
Pulau langerhans manusia, mengandung tiga jenis sel utama, yaitu:
a.       Sel – sel A ( alpha ), jumlahnya sekitar 20 – 40 % ; memproduksi glikagon yang manjadi faktor hiperglikemik, suatu hormon yang mempunyai “ anti insulin like activity “.
b.       Sel – sel B ( betha ), jumlahnya sekitar 60 – 80 % , membuat insulin.
c.       Sel – sel D ( delta ), jumlahnya sekitar 5 – 15 %, membuat somatostatin.
Masing – masing sel tersebut, dapat dibedakan berdasarkan struktur dan sifat pewarnaan. Di bawah mikroskop pulau-pulau langerhans ini nampak berwarna pucat dan banyak mengandung pembuluh darah kapiler. Pada penderita DM, sel beha sering ada tetapi berbeda dengan sel beta yang  normal dimana sel beta tidak menunjukkan reaksi pewarnaan untuk insulin sehingga dianggap tidak berfungsi.
Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 untuk insulin manusia. Molekul insulin terdiri dari dua rantai polipeptida yang tidak sama, yaitu rantai A dan B. Kedua rantai ini dihubungkan oleh  dua jembatan ( perangkai ), yang terdiri dari disulfida. Rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam amino. Insulin dapat larut pada pH 4 – 7 dengan titik isoelektrik pada 5,3. Sebelum insulin dapat berfungsi, ia harus berikatan dengan protein reseptor yang besar di dalam membrana sel.
Insulin di sintesis sel beta pankreas dari proinsulin dan di simpan dalam butiran berselaput yang berasal dari kompleks Golgi. Pengaturan sekresi insulin dipengaruhi efek umpan balik kadar glukosa darah pada pankreas. Bila kadar glukosa darah meningkat diatas 100 mg/100ml darah, sekresi insulin meningkat cepat. Bila kadar glukosa normal atau rendah, produksi insulin akan menurun.
Selain kadar glukosa darah, faktor lain seperti asam amino, asam lemak, dan hormon gastrointestina merangsang sekresi insulin dalam derajat berbeda-beda. Fungsi metabolisme utama insulin untuk meningkatkan kecepatan transport glukosa melalui membran sel ke jaringan terutama sel – sel otot, fibroblas dan sel lemak.

C.  Etiologi
            Diabetes Melitus mempunyai etiologi yang heterogen, dimana berbagai lesi dapat menyebabkan insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya memegang peranan penting pada mayoritas Diabetes Melitus. Faktor lain yang dianggap sebagai kemungkinan etiologi DM yaitu :
1.      Kelainan sel beta pankreas, berkisar dari hilangnya sel beta sampai kegagalan sel beta melepas insulin.
2.      Faktor – faktor lingkungan yang mengubah fungsi sel beta, antara lain agen yang dapat menimbulkan infeksi, diet dimana pemasukan karbohidrat dan gula yang diproses secara berlebihan, obesitas dan kehamilan.
3.      Gangguan sistem imunitas. Sistem ini dapat dilakukan oleh autoimunitas yang disertai pembentukan sel – sel antibodi antipankreatik dan mengakibatkan kerusakan sel – sel penyekresi insulin, kemudian peningkatan kepekaan sel beta oleh virus.
4.      Kelainan insulin. Pada pasien obesitas, terjadi gangguan kepekaan jaringan terhadap insulin akibat kurangnya reseptor insulin yang terdapat pada membran sel yang responsir terhadap insulin.

D.  Patofisiologi
           Sebagian besar gambaran patologik dari DM dapat dihubungkan dengan salah satu efek utama akibat kurangnya insulin berikut:
1.             Berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel – sel tubuh yang mengakibatkan naiknya konsentrasi glukosa darah setinggi 300 – 1200 mg/dl.
2.             Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah penyimpanan lemak yang menyebabkan terjadinya metabolisme lemak yang abnormal disertai dengan endapan kolestrol pada dinding pembuluh darah.
3.             Berkurangnya protein dalam jaringan tubuh. Pasien – pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal atau toleransi sesudah makan. Pada hiperglikemia yng parah yang melebihi ambang ginjal normal ( konsentrasi glukosa darah sebesar 160 – 180 mg/100 ml ), akan timbul glikosuria karena tubulus – tubulus renalis tidak dapat  menyerap kembali semua glukosa. Glukosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang menyebabkan poliuri disertai kehilangan sodium, klorida, potasium, dan pospat. Adanya poliuri menyebabkan dehidrasi dan timbul polidipsi. Akibat glukosa yang keluar bersama urine maka pasien akan mengalami keseimbangan protein negatif dan berat badan menurun serta cenderung terjadi polifagi. Akibat yang lain adalah astenia atau kekurangan energi sehingga pasien menjadi cepat telah dan mengantuk yang disebabkan oleh berkurangnya atau hilangnya protein tubuh dan juga berkurangnya penggunaan karbohidrat untuk energi.
Hiperglikemia yang lama  akan menyebabkan arterosklerosis, penebalan membran basalis dan perubahan pada saraf perifer. Ini akan memudahkan terjadinya gangren.

E.  Tanda Dan Gejala
Simtoma hiperglisemia lebih lanjut menginduksi tiga gejala klasik lainnya:
1.  poliuria - sering buang air kecil
  1. polidipsia - selalu merasa haus
  2. polifagia - selalu merasa lapar
  3. penurunan berat badan, seringkali hanya pada diabetes mellitus tipe 1
Dan Setelah jangka panjang tanpa perawatan memadai, dapat memicu berbagai komplikasi kronis, seperti:
1.       gangguan pada mata dengan potensi berakibat pada kebutaan,
  1. gangguan pada ginjal hingga berakibat pada gagal ginjal
  2. gangguan kardiovaskular, disertai lesi membran basalis yang dapat diketahui dengan pemeriksaan menggunakan mikroskop elektron,[6]
  3. gangguan pada sistem saraf hingga disfungsi saraf autonom, foot ulcer, amputasi, charcot joint dan disfungsi seksual,Dan Gejala lain seperti dehidrasi, ketoasidosis, ketonuria dan hiperosmolar non-ketotik yang dapat berakibat pada stupor dan koma.
5.       Rentan Terhadap Infeksi.
Kata diabetes mellitus itu sendiri mengacu pada simtoma yang disebut glikosuria, atau kencing manis, yang terjadi jika penderita tidak segera mendapatkan perawatan.
Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada DM umumnya tidak ada. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf. Pada DM lansia terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menua, sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai kasus dengan komplikasi yang luas. Keluhan yang sering muncul adalah adanya gangguan penglihatan karena katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatan lazim.
Menurut Supartondo, gejala-gejala akibat DM pada usia lanjut yang sering ditemukan adalah :
1.      Katarak
2.      Glaukoma
3.      Retinopati
4.       Gatal seluruh badan
5.      Pruritus Vulvae
6.      Infeksi bakteri kulit
7.      Infeksi jamur di kulit
8.      Dermatopati
9.      Neuropati perifer
10.  Neuropati viseral
11.  Amiotropi
12.  Ulkus Neurotropik
13.  Penyakit ginjal
14.  Penyakit pembuluh darah perifer
15.  Penyakit koroner
16.  Penyakit pembuluh darah otak
F.   Klasifikasi Diabetes Mellitus
1.      Diabetes mellitus tipe 1
Diabetes anak-anak (bahasa Inggris: childhood-onset diabetes, juvenile diabetes, insulin-dependent diabetes mellitus, IDDM) adalah diabetes yang terjadi karena berkurangnya rasio insulin dalam sirkulasi darah akibat hilangnya sel beta penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhans pankreas. IDDM dapat diderita oleh anak-anak maupun orang dewasa.
Sampai saat ini IDDM tidak dapat dicegah dan tidak dapat disembuhkan, bahkan dengan diet maupun olah raga. Kebanyakan penderita diabetes tipe 1 memiliki kesehatan dan berat badan yang baik saat penyakit ini mulai dideritanya. Selain itu, sensitivitas maupun respons tubuh terhadap insulin umumnya normal pada penderita diabetes tipe ini, terutama pada tahap awal.
Penyebab terbanyak dari kehilangan sel beta pada diabetes tipe 1 adalah kesalahan reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta pankreas. Reaksi autoimunitas tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi pada tubuh.
Saat ini, diabetes tipe 1 hanya dapat diobati dengan menggunakan insulin, dengan pengawasan yang teliti terhadap tingkat glukosa darah melalui alat monitor pengujian darah. Pengobatan dasar diabetes tipe 1, bahkan untuk tahap paling awal sekalipun, adalah penggantian insulin. Tanpa insulin, ketosis dan diabetic ketoacidosis bisa menyebabkan koma bahkan bisa mengakibatkan kematian. Penekanan juga diberikan pada penyesuaian gaya hidup (diet dan olahraga). Terlepas dari pemberian injeksi pada umumnya, juga dimungkinkan pemberian insulin melalui pump, yang memungkinkan untuk pemberian masukan insulin 24 jam sehari pada tingkat dosis yang telah ditentukan, juga dimungkinkan pemberian dosis (a bolus) dari insulin yang dibutuhkan pada saat makan. Serta dimungkinkan juga untuk pemberian masukan insulin melalui "inhaled powder".
Perawatan diabetes tipe 1 harus berlanjut terus. Perawatan tidak akan memengaruhi aktivitas-aktivitas normal apabila kesadaran yang cukup, perawatan yang tepat, dan kedisiplinan dalam pemeriksaan dan pengobatan dijalankan. Tingkat Glukosa rata-rata untuk pasien diabetes tipe 1 harus sedekat mungkin ke angka normal (80-120 mg/dl, 4-6 mmol/l). Beberapa dokter menyarankan sampai ke 140-150 mg/dl (7-7.5 mmol/l) untuk mereka yang bermasalah dengan angka yang lebih rendah, seperti "frequent hypoglycemic events". Angka di atas 200 mg/dl (10 mmol/l) seringkali diikuti dengan rasa tidak nyaman dan buang air kecil yang terlalu sering sehingga menyebabkan dehidrasi. Angka di atas 300 mg/dl (15 mmol/l) biasanya membutuhkan perawatan secepatnya dan dapat mengarah ke ketoasidosis. Tingkat glukosa darah yang rendah, yang disebut hipoglisemia, dapat menyebabkan kehilangan kesadaran.
2.      Diabetes mellitus tipe 2
Diabetes mellitus tipe 2 (bahasa Inggris: adult-onset diabetes, obesity-related diabetes, non-insulin-dependent diabetes mellitus, NIDDM) merupakan tipe diabetes mellitus yang terjadi bukan disebabkan oleh rasio insulin di dalam sirkulasi darah, melainkan merupakan kelainan metabolisme yang disebabkan oleh mutasi pada banyak gen, termasuk yang mengekspresikan disfungsi sel β, gangguan sekresi hormon insulin, resistansi sel terhadap insulin yang disebabkan oleh disfungsi GLUT10[] dengan kofaktor hormon resistin yang menyebabkan sel jaringan, terutama pada hati menjadi kurang peka terhadap insulinserta RBP4 yang menekan penyerapan glukosa oleh otot lurik namun meningkatkan sekresi gula darah oleh hati. Mutasi gen tersebut sering terjadi pada kromosom 19 yang merupakan kromosom terpadat yang ditemukan pada manusia. Pada NIDDM ditemukan ekspresi SGLT1 yang tinggi, rasio RBP4 dan hormon resistin yang tinggi, peningkatan laju metabolisme glikogenolisis dan glukoneogenesis pada hati, penurunan laju reaksi oksidasi dan peningkatan laju reaksi esterifikasi pada hati.
NIDDM juga dapat disebabkan oleh dislipidemia, lipodistrofi, dan sindrom resistansi insulin.
Pada tahap awal kelainan yang muncul adalah berkurangnya sensitifitas terhadap insulin, yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah. Hiperglisemia dapat diatasi dengan obat anti diabetes yang dapat meningkatkan sensitifitas terhadap insulin atau mengurangi produksi glukosa dari hepar, namun semakin parah penyakit, sekresi insulin pun semakin berkurang, dan terapi dengan insulin kadang dibutuhkanAda beberapa teori yang menyebutkan penyebab pasti dan mekanisme terjadinya resistensi ini, namun obesitas sentral diketahui sebagai faktor predisposisi terjadinya resistensi terhadap insulin, dalam kaitan dengan pengeluaran dari adipokines ( nya suatu kelompok hormon) itu merusak toleransi glukosa. Obesitas ditemukan di kira-kira 90% dari pasien dunia dikembangkan diagnosis dengan jenis 2 kencing manis. Faktor lain meliputi mengeram dan sejarah keluarga, walaupun di dekade yang terakhir telah terus meningkat mulai untuk memengaruhi anak remaja dan anak-anak.
Diabetes tipe 2 dapat terjadi tanpa ada gejala sebelum hasil diagnosis. Diabetes tipe 2 biasanya, awalnya, diobati dengan cara perubahan aktivitas fisik (olahraga), diet (umumnya pengurangan asupan karbohidrat), dan lewat pengurangan berat badan. Ini dapat memugar kembali kepekaan hormon insulin, bahkan ketika kerugian berat/beban adalah rendah hati,, sebagai contoh, di sekitar 5 kg ( 10 sampai 15 lb), paling terutama ketika itu ada di deposito abdominal yang gemuk. Langkah yang berikutnya, jika perlu,, perawatan dengan lisan [[ antidiabetic drugs. [Sebagai/Ketika/Sebab] produksi hormon insulin adalah pengobatan pada awalnya tak terhalang, lisan ( sering yang digunakan di kombinasi) kaleng tetap digunakan untuk meningkatkan produksi hormon insulin ( e.g., sulfonylureas) dan mengatur pelepasan/release yang tidak sesuai tentang glukosa oleh hati ( dan menipis pembalasan hormon insulin sampai taraf tertentu ( e.g., metformin), dan pada hakekatnya menipis pembalasan hormon insulin ( e.g., thiazolidinediones). Jika ini gagal, ilmu pengobatan hormon insulin akan jadilah diperlukan untuk memelihara normal atau dekat tingkatan glukosa yang normal. Suatu cara hidup yang tertib tentang cek glukosa darah direkomendasikan dalam banyak kasus, paling terutama sekali dan perlu ketika mengambil kebanyakan pengobatan.
Sebuah zat penghambat dipeptidyl peptidase 4 yang disebut sitagliptin, baru-baru ini diperkenankan untuk digunakan sebagai pengobatan diabetes mellitustipe 2. Seperti zat penghambat dipeptidyl peptidase 4 yang lain, sitagliptin akan membuka peluang bagi perkembangan sel tumor maupun kanker.
Sebuah fenotipe sangat khas ditunjukkan oleh NIDDM pada manusia adalah defisiensi metabolisme oksidatif di dalam mitokondria pada otot lurik. Sebaliknya, hormon tri-iodotironina menginduksi biogenesis di dalam mitokondria dan meningkatkan sintesis ATP sintase pada kompleks V, meningkatkan aktivitas sitokrom c oksidase pada kompleks IV, menurunkan spesi oksigen reaktif, menurunkan stres oksidatif,  sedang hormon melatonin akan meningkatkan produksi ATP di dalam mitokondria serta meningkatkan aktivitas respiratory chain, terutama pada kompleks I, III dan IV.  Bersama dengan insulin, ketiga hormon ini membentuk siklus yang mengatur fosforilasi oksidatif mitokondria di dalam otot lurik. Di sisi lain, metalotionein yang menghambat aktivitas GSK-3beta akan mengurangi risiko defisiensi otot jantung pada penderita diabetes.
Simtoma yang terjadi pada NIDDM dapat berkurang dengan dramatis, diikuti dengan pengurangan berat tubuh, setelah dilakukan bedah bypass usus. Hal ini diketahui sebagai akibat dari peningkatan sekresi hormon inkretin, namun para ahli belum dapat menentukan apakah metoda ini dapat memberikan kesembuhan bagi NIDDM dengan perubahan homeostasis glukosa.
Pada terapi tradisional, flavonoid yang mengandung senyawa hesperidin dan naringin, diketahui menyebabkan:
1.       peningkatan mRNA glukokinase,
  1. peningkatan ekspresi GLUT4 pada hati dan jaringan
  2. peningkatan pencerap gamma proliferator peroksisom
  3. peningkatan rasio plasma hormon insulin, protein C dan leptin[33]
  4. penurunan ekspresi GLUT2 pada hati
  5. penurunan rasio plasma asam lemak dan kadar trigliserida pada hati
  6. penurunan rasio plasma dan kadar kolesterol dalam hati, antara lain dengan menekan 3-hydroxy-3-methylglutaryl-coenzyme reductase, asil-KoA, kolesterol asiltransferase
  7. penurunan oksidasi asam lemak di dalam hati dan aktivitas karnitina palmitoil, antara lain dengan mengurangi sintesis glukosa-6 fosfatase dehidrogenase dan fosfatidat fosfohidrolase
  8. meningkatkan laju lintasan glikolisis dan/atau menurunkan laju lintasan glukoneogenesis
  9. sedang naringin sendiri, menurunkan transkripsi mRNA fosfoenolpiruvat karboksikinase dan glukosa-6 fosfatase di dalam hati.
  10. Hesperidin merupakan senyawa organik yang banyak ditemukan pada buah jenis jeruk, sedang naringin banyak ditemukan pada buah jenis anggur.

3.      Diabetes mellitus tipe 3
Diabetes mellitus gestasional (bahasa Inggris: gestational diabetes, insulin-resistant type 1 diabetes, double diabetes, type 2 diabetes which has progressed to require injected insulin, latent autoimmune diabetes of adults, type 1.5" diabetes, type 3 diabetes, LADA) atau diabetes melitus yang terjadi hanya selama kehamilan dan pulih setelah melahirkan, dengan keterlibatan interleukin-6 dan protein reaktif C pada lintasan patogenesisnya.[34] GDM mungkin dapat merusak kesehatan janin atau ibu, dan sekitar 20–50% dari wanita penderita GDM bertahan hidup.[rujukan?]Diabetes melitus pada kehamilan terjadi di sekitar 2–5% dari semua kehamilan. GDM bersifat temporer dan dapat meningkat maupun menghilang setelah melahirkan. GDM dapat disembuhkan, namun memerlukan pengawasan medis yang cermat selama masa kehamilan.
Meskipun GDM bersifat sementara, bila tidak ditangani dengan baik dapat membahayakan kesehatan janin maupun sang ibu. Resiko yang dapat dialami oleh bayi meliputi makrosomia (berat bayi yang tinggi/diatas normal), penyakit jantung bawaan dan kelainan sistem saraf pusat, dan cacat otot rangka. Peningkatan hormon insulin janin dapat menghambat produksi surfaktan janin dan mengakibatkan sindrom gangguan pernapasan. Hyperbilirubinemia dapat terjadi akibat kerusakan sel darah merah. Pada kasus yang parah, kematian sebelum kelahiran dapat terjadi, paling umum terjadi sebagai akibat dari perfusi plasenta yang buruk karena kerusakan vaskular. Induksi kehamilan dapat diindikasikan dengan menurunnya fungsi plasenta. Operasi sesar dapat akan dilakukan bila ada tanda bahwa janin dalam bahaya atau peningkatan resiko luka yang berhubungan dengan makrosomia, seperti distosia bahu.

G. Penatalaksanaan Medis
Pasien yang cukup terkendali dengan pengaturan makan saja tidak mengalami kesulitan kalau berpuasa. Pasien yang cukup terkendali dengan obat dosis tunggal juga tidak mengalami kesulitan untuk berpuasa. Obat diberikan pada saat berbuka puasa. Untuk yang terkendali dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dosis tinggi, obat diberikan dengan dosis sebelum berbuka lebih besar daripada dosis sahur. Untuk yang memakai insulin, dipakai insulin jangka menengah yang diberikan saat berbuka saja. Sedangkan pasien yang harus menggunakan insulin (DMTI) dosis ganda, dianjurkan untuk tidak berpuasa dalam bulan Ramadhan.
1.    Perencanaan Makan
Merupakan salah satu pilar penanganan pasien DM tipe ½
Prinsip:
Harus disesuaikan dengan kebiasaan tiap individu
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, stutus gizi, umur, ada tidaknya stress akut, dan kegiatan jasmani
Jumlah kalori yang masuk lebih penting dari pada jenis asal kalori
Menghitung kebutuhan kalori dengan menggunakan:
Rumus Broca (yang dipakai di klinik)
BBI=(TB-100)-10%
Status gizi:
BB kurang BB<90%BBI
BB normal BB90-110%BBI
BB lebih BB110-120%BBI
BB gemuk BB>120% BbL
IMT (Index Massa Tubuh)
2.    PERENCANAAN MAKAN
Contoh perhitungan Kalori dengan rumus Broca:
BBI=(TB-100)-10% dikalikan dengan kebutuhan kalori untuk metabolisme basal (30kkal/kgBB untuk pria;24 kkal/kgBB untuk wanita)
Penambahan:
10-30% aktifitas
20% stress akut
Koreksi bila gemuk
Makanan dibagi atas 3 porsi besar: pagi (20%), siang(30%), sore (25%) dan sisa untuk snack diantara makan pagi siang dan siang-sore. Selanjutnya perubahan disesuaikan dengan pola makan pasien.
Standar yang dianjurkan untuk komposisi makanan:
 KH 60-70%
Protein 10-15%
Lemak 20-25%
3.             PERENCANAAN MAKAN
KH diklasifikasikan berdasarkan efeknya terhadap peningkatan glukosa (Index glikemik):
Lambat (a.l. roti whole grain, nasi, kentang, cereal, apel)
Sedang
Cepat
Untuk mencegah peningkatkan glukosa secara cepat maka dipilih makanan dengan index glikemik lambat
Gula murni tidak perlu dihindari
4.         INTERVENSI FARMAKOLOGIS
Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran kadar glukosa darah belum tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
Intervensi Farmakologis meliputi:
OHO (Obat Hipoglikemik Oral)
Insulin
OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL
Lokasi kerja OHO pada tubuh
OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL
Digolongkan berdasarkan cara kerjanya:
Pemicu sekresi insulin/secretagogue (Sulfonilurea dan Glinit)
Penambah sensitifitas terhadap insulin: Metformin dan Tiazolidindion
Penghambat absorbsi glukosa:penghambat oksidase alfa
SULFONILUREA
Bekerja dengan cara meningkatkan sekresi insulin
Semua Sulfonilurea meningkatkan berat badan dan beresiko menyebabkan hipoglikemi
Menurunkan GDP sampai 50–70 mg/dl dan menurunkan HbA1c sampai 0.8–1.7%
Semua obat menyebabkan hipoglikemi berat, maka dosis yang diberikan sekecil mungkin dan harus dimonitor GDP sampai 110-140mg/dL.
Generasi pertama (Tolbutamide, Acetohexamide, Tolazamide, and Chlorpropamide)
sudah tidak digunakan lagi (terutama di US) karena meningkatkan reaksi obat dengan obat lain.à
sangat
à kuat efek hipoglikeminya (Chlorpropamide): hanya dimetabolisme pada pasien gangguan ginjalàterakumulasi pada ginjalàsebagian menyebabkan hipoglikemi memanjang dan berat
TIAZOLIDINDION
Contoh:Troglitazone Maret
à(Rezulin), rosiglitazone (Avandia) and pioglitazone (Actos).  2000 Troglitazone ditarik dari pasaran US karena terbukti menyebabkan 60 laporan hepatotoksik.
Bekerja dengan cara meningkatkan sensitifitas insulin pada jaringan otot dan adipose dan sedikit menghambat produksi glukosa di hati.
Relatif aman untuk pasien gangguan ginjal karena dimetabolisme di hati dan dikeluarkan melalui feses.
Penggunaan pada pasien gangguan hati dapat menyebabkan akumulasi Tiazolidindion
kontra indikasi untuk CHF fc III dan IV
àTerjadi sedikit peningkatan volume plasma pada penggunaan obat ini
PENGHAMBAT
GLUKOSIDASE ALFA/
GLUKOSIDASE INHIBITORS
Generik:Acarbose (Glucobay)
lansung menurunkan GDPP.àBekerja dengan cara menghambat absorbsi
karbohidrat pada usus halus
Absorbsi dextrins, maltose, sucrose, and KH tergangu dengan pemberian Acarbose tetapi tidak menghambat penyerapan glucose dan lactose.
Dimakan bersamaan suapan pertama
Pengobatan dengan Arcabose dapat menurunkan GDP sampai 35–40 mg/dl dan HbA1c sampai 0.4–0.7%.
Terapi Acarbose tidak menyebabkan peingkatan berat badan atau hipoglikemi (karena hanya berefek lokal).
KI: gangguan hepar, ginjal (keatinin>2mg/dl) dan GI
Efek samping: peningkatan flatus, nyeri abdominal, dan diare.
BIGUANID
Mekanisme kerja terutama menurunkan pengeluaran glukosa hati.
Mampu meningkatkan sensitifitas terhadap insulin dengan meningkatkan aktifitas reseptor insulin tirosin kinase, meingkatkan sistesis glikogen dan meningkatkan transport GLUT $4 transporter ke dalam plasma membran. Contoh: Metformin. Mampu menurunkan GDP sampai 50–70 mg/dl dan the HbA1c sampai 1.4–1.8%.
Tidak begitu berbahaya dalam menyebabkan hipoglikemi
Efek samping yang sering terjadi: ketidak nyamanan GI dan mual. Hampir 0.03 kasus/1,000 pasien-tahun, mengalami asidosis laktat terutama pada pasien yang mengalami renal insufisiensi dan gangguan hati
Metformin tidak direkomendasikan untuk pasien dengan kreatinin >1.5 mg/dl.
Baik digunakan bagi pasien gemuk.
TERAPI KOMBINASI
INSULIN
Cara kerja Insulin: Fungsi utama mengkounter hormon peningkat glukosa dan mempertahankan gula darah normal, menstimulasi lipogenesis, menurunkan lipolisis dan meningkatkan transport asam amino ke dalam sel, menstimulasi pertumbuhan, sintesis DNA dan replikasi sel.
Indikasi terapi insulin:
DM tipe 1/IDDM
DM tipe 2/NIDDM yang tidak berespon dengan pengobatan OHO
DM tipe 2 dengan stress
Penurunan BB yang cepat
Ketoasidosis diabetik
INSULIN
Penyuntikan: subkutan dan vena (dalam keadaan akut)
Lokasi subkutan, spt.gambar
KRITERIA PENGENDALIAN DM PENANGANAN DM DENGAN KOMPLIKASI
DIABETES DAN HIPERTENSI
Indikasi pengobatan: TD sistolik lebih atau sama dengan 130mmHg dan TD diastolik lebih sama dengan 90mmHg
Pengelolaan
Non farmakologis: modifikasi gaya hidup. Menurunkan BB, OR, menghendtikan rokok dan mengurangi konsumsi garam
Farmakologis:
Hal yang perlu diperhatikan dalam memilih OAH (Obat Anti Hipertensi)):
Pengaruh OAH pada profil lipid
Pengaruh OAH pada metabolisme glukosa
Pengaruh OAH terhadap resisensi insulin
Pengaruh OAH terhadap hipoglikemi
PENANGANAN DM DENGAN KOMPLIKASI
Obat Anti Hipertensi yang dianjurkan:
Penghambat ACE (memperbaiki mikroalbuminuria)
Penyekat reseptor angiotensin IIPenyekat reseptor beta, selektif, dosis rendah
Diuretik dosis rendah (dalam jangka panjang memperburuk toleransi glukosa)
Penghambat alfa
Antagonis kalsium golongan non dihidropiridin
PENANGANAN DM DENGAN KOMPLIKASI
Nefropati DiabetikDiagnosis: jika terdapat kadar albumin urin lebih atau sama dengan 30mg pada 2-3 kali pemeriksaan dalam jangka waktu 3-6 bulan tanpa penyebab albuminuria lain (aktivitas fisik berat, ISK, gagal jantung, hipertensi berat, demam tinggi)
Penatalaksanaan:
Kendalikan gd
Kendaikan TD
Diet protein 0.8gr/hr
Libatkan ahli nefrologi jika serum kreatinin telah mencapai lebih atau
sama dengan 2.0mg/dl
PENANGANAN DM DENGAN KOMPLIKASI
DM DENGAN GANGGUAN FUNGSI EREKSI
DE (Disfungsi Ereksi) akibat dari neuropati otonom, angiopati dan problem psikis
 tanyakan pada saat pengkajianàDE sumber kecemasan tapi jarang disampaikan pasien
Diagnosis DE menggunakan International Index of Erectil Function.
Pengobatan lini pertama: terapi psikoseksual, obat oral (sildenafil)
H.  Pemeriksaan penunjang
1.      Glukosa darah sewaktu
2.      Kadar glukosa darah puasa
3.      Tes toleransi glukosa
4.      Kadar darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring diagnosis DM (mg/dl).
Kadar glukosa darah sewaktu
a.       Plasma vena :
<100 o 100 – 200 = belum pasti DM o >200 = DM
b.      Darah kapiler :
<80 o 80 – 100 = belum pasti DM o > 200 = DM
Kadar glukosa darah puasa
c.       Plasma vena :
1) 110 – 120 = belum pasti DM
2) > 120 = DM
d. Darah kapiler :
90    – 110 = belum pasti DM
> 110 = DM
Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan:
1.      Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)
2.      Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)
3.      Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl).

I.         Diagnosa Keperawatan
1.      Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan
2.      Kekurangan volume cairan
3.      Gangguan integritas kulit
4.      Resiko terjadi injury

J.    Intervensi Keperawatan
1.      Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan masukan oral, anoreksia, mual, peningkatan metabolisme protein, lemak.
Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi
Kriteria Hasil :
a.       Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien yang tepat
b.      Berat badan stabil atau penambahan ke arah rentang biasanya
Intervensi :
a.       Timbang berat badan setiap hari atau sesuai dengan indikasi.
b.      Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang dapat dihabiskan pasien.
c.       Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen / perut kembung, mual, muntahan makanan yang belum sempat dicerna, pertahankan keadaan puasa sesuai dengan indikasi.
d.      Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan (nutrien) dan elektrolit dengan segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya melalui oral